Tuesday, 27 May 2014
Geliat kopi Arabica Menoreh di pasar lokal yogyakarta
Malam terus merambat di langit Yogyakarta, tetapi kehidupan masih berdenyut di sejumlah warung kopi yang bertebaran di kota itu.
Ini bukanlah hal aneh di Jogja. Minum kopi sambil mengobrol di kedai, percayalah, sudah menjadi tradisi di wilayah ini.
Tetapi, jika Anda teliti, ada alternatif jenis kopi berbeda yang dijual di sebagian besar warung kopi yang bertebaran di kota itu, belakangan ini.
"Aku dulu sangat intens dengan kopi Robusta," kata Ardian, warga wonosobo yang kuliah di jogja, seraya menyebut kedai kopi Gendon warung kopi. "Tapi, setelah mendapat informasi baru tentang kopi Arabica, saya pelan-pelan beralih ke kopi ini."
Harga secangkir kopi jenis Arabica yang relatif mahal, sempat membuat Ardi ciut hati.
Dan cita rasanya? "Awalnya masih sangat aneh di lidah," kata Ardi yang juga seorang Fotografer ini.
Namun beberapa kali mencoba, pria ini kemudian jatuh cinta pada kopi jenis Arabica. "Dan, dalam empat bulan terakhir, budaya ngopiku berubah," akunya, seraya tertawa.
"Aku dulu sangat intens dengan kopi Robusta... Tapi, setelah mendapat informasi baru tentang kopi Arabica, saya pelan-pelan beralih ke kopi ini. "
Reza Abdulah, warga Aceh.
Reza tidak sendiri. Selama empat hari tinggal di jogja pada April 2014 lalu, saya bertemu lebih dari selusin penikmat kopi yang memiliki pengalaman sama.
Intinya, mereka berkata, kini tidak semata minum kopi Robusta tetapi pelan-pelan beralih ke kopi jenis Arabica terutama Arabica menoreh.
Sengaja dikampanyekan
Kopi jenis Arabica menoreh (java coffee), yang diminum Reza dan warga jogja lainnya, berasal dari dataran tinggi menoreh di wilayah kab. Kulon progo.
Para ahli kopi mengatakan, kopi yang ditanam para petani di dataran tinggi Menoreh ini, disebut memiliki cita rasa khas dan sudah diakui dunia.
Itulah sebabnya, sejak awal, kopi ini telah diekspor ke berbagai negara, utamanya ke Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
Sejak sekitar tiga belas tahun silam, Starbuck Coffee, perusahaan kopi terbesar di dunia, delapan puluh persen mendatangkan kopi jenis Arabika dari Indonesia untuk kebutuhan dunia.
Kopi Arabica Menoreh selama ini dikonsumi masyarakat di luar Jogja dan Indonesia.
"Starbuck beli kopi dari Indonesia dan dia bawa ke Seattle, AS, dan dicampur dengan kopi dari seluruh dunia, lalu dikirim dan dijual kembali ke Indonesia," kata Caecilia , seorang penikmat kopi dan pengusaha kopi asal Sleman Yogyakarta.
Akibatnya, harga kopi Arabica asal indonesia menjadi selangit. Masyarakat Jogja kebanyakan, yang memiliki tradisi minum kopi di kedai-kedai, menjadi terasing dengan jenis kopi Arabica yang ditanam di tanahnya sendiri.
Belakangan, ada kesadaran yang berkembang di masyarakat Jogja untuk mengenalkan kopi jenis ini ke masyarakat lokal Jogja dan sekitarnya.
"Pada tahun 2013, kita mulai menggerakan, mensosialisasikan ke warga Jogja dan sekitarnya, bahwa rasa kopi Arabica lebih nyaman dari Robusta," kata Caecilia.
"
Yuniarto wicaksana, pemilik gendon warung kopi dan penggemar kopi.
Saat ini, menurutnya, penikmat kopi di kedai-kedai di wilayah Jogja dan sekitarnya, mulai berubah. "Sekitar 20% dan 30% sudah beralih ke Arabica," tandasnya.
Menguntungkan?
Pertanyaannya kemudian, kenapa ketika ekspor kopi Arabica asal indonesia dianggap menguntungkan, para pengusahanya saat ini ramai-ramai membuka pasar lokal?
Pertengahan April 2014 lalu, saya mendatangi kedai kopi milik Yuniarto W yang diberi nama Gendon warung kopi.
Terletak di jln Godean Km 18, kafe ini dibangun secara menarik, dengan menampilkan suasana unik nyentrik dengan sentuhan perpaduan antara gaya moderen dan klasic.
Starbuck Coffee mendatangkan kopi jenis Arabica dari Indonesia untuk kebutuhan dunia.
Beberapa orang yang saya temui menyebut, kedai kopi milik mas Yuniarto ini merupakan salah-satu kedai pertama yang menjual kopi Arabica menoreh.
"Saya investasi sangat besar (membangun kafe) untuk membuat orang kita mengubah imej kopi Arabica Menoreh," kata mas Yuniarto.
Menurutnya, upayanya mengenalkan Kopi Arabica Menoreh adalah untuk membantu petani kopi di pegunungan menoreh. "Bagaimana caranya kita mendongkrak harga kopi yang ada di petani," ujarnya.
Dia juga bercita-cita agar masyarakat jogja dapat menikmati kopi Arabica berkualitas asal Pegunungan Menoreh, yang selama ini cuma bisa dikonsumsi di restoran mahal seperti Starbucks.
"Tapi kalau kita nggak pernah mengkonsumsi, dan yang kita jual setengah jadi, kita nggak bisa berbuat apa-apa," katanya lagi.
Namun bagaimana dia meyakinkan masyarakat Jogja, yang terbiasa mengkonsumsi kopi Robusta dengan harga lebih terjangkau?
"Tred setter-nya bule," ungkapnya seraya menambahkan, dia juga mengundang tokoh masyarakat dan warga Banda Aceh lainnya untuk "mencoba" kopi Arabiya Menoreh.
Untung sedikit
Puluhan kilometer dari Kota jogja, petani Kopi Arabica di dataran tinggi Menoreh, sedikit-banyak ikut merasakan imbas ekonomi dari upaya sistematis memasyarakatkan kopi Arabica, meskipun hasilnya belum seperti yang dibayangkan.
Bachtiar, petani kopi di Samigaluh, Kulon Progo, mengatakan, perubahan konsumsi dari kopi Robusta ke kopi Arabica yang belakangan terlihat di wilayah Jogja dan sekitarnya, belum berdampak luar biasa kepada keuntungan mereka.
"Petani kopi ini sangat tergantung pada harga yang ditetapkan oleh para pengepul (pembeli lokal). Pengepul menetapkan harga berdasarkan kurs Dollar AS dan nilai jual di luar negeri," kata pria yang berusia 46 tahun ini.
Jadi, "meningkatnya konsumsi kopi Arabica di masyarakat, tidak terlalu besar pengaruhnya kepada petani. Namun yang lebih besar pengaruhnya kepada pedagang kopi atau pengusaha yang membuka kafe kopi."
"Kalau tingkat petani cuma 5% naik grafik keuntungannya," tambahnya.
Meskipun demikian, akunya, kini petani kopi di Jogja dan sekitarnya mulai bersemangat untuk merawat lebih intensif pohon kopinya.
Konsumsi luar negeri
Sampai tiga tahun lalu, nilai ekspor kopi Arabica Indonesia naik sekitar US$50 juta jika dibandingkan setahun sebelumnya.
Sejumlah pengusaha kopi Arabica di Indonesia mengaku, nilai ekspor kopi Indonesia masih lebih besar dibanding keuntungan yang diperoleh untuk konsumsi lokal.
banyak pengusaha kopi Indonesia sejauh ini lebih banyak mengekspor kopi Arabica ketimbang untuk konsumsi lokal.
Sebaliknya, pengusaha kopi dan pemilik Kedai Gendon Warung kopi,Mas Yuniarto menyatakan, belakangan keuntungannya dari pasar lokal lebih menjanjikan ketimbang dari nilai ekspor.
Bagaimanapun, upaya memperkenalkan kopi Arabica asal Menoreh terus dilakukan, sehingga masyarakat Aceh pencinta kopi makin mengenalnya.
Harapan agar pengembangan kopi asli Menoreh ini berimbas kepada penghasilan petani tentu patut didukung.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment